Pembatasan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid Dan Musholla, Antara HAM Dan Toleransi Beragama

Oleh:

Ryan Muthiara Wasti, S.H., M.H.

(Direktur Kajian & Studi Kebijakan PAHAM Indonesia)

 

“Mengenai daya laku terhadap masyarakat, maka Instruksi Direktur Jenderal atau pun Surat Edaran tidak mempunyai daya laku …”

 

Pada tanggal 24 Agustus 2018, Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama di setiap provinsi di Indonesia. Hal yang menarik dari surat edaran ini adalah adanya lampiran instruksi Dirjen Bimas yang dikeluarkan pada tahun 1978 tentang aturan pengeras suara yang berisi sejumlah aturan teknis mengenai pembatasan penggunaan pengeras suara di mesjid-mesjid. Keberadaan instruksi tersebut memang sudah lama ada dan bahkan mungkin sudah dijalankan oleh sejumlah pengurus mesjid yang mengetahui adanya instruksi tersebut melalui sosialisasi kantor wilayah. Namun, sayangnya instruksi tersebut digunakan kembali pada saat ini dimana kemungkinan adanya perubahan sosial dalam masyarakat sangat memungkinkan untuk tidak tepat lagi untuk dilaksanakannya insturksi ini.

 

Selain itu, di dalam instruksi Dirjen Bimas tersebut terdapat ketidakkonsistenan dalam hal toleransi terhadap kehidupan beragama di satu sisi dan menyejajarkan dengan toleransi terhadap kehidupan di perkotaan dan di pedesaan tanpa melihat adanya kebiasaan dalam masyarakat yang juga perlu untuk ditoleransi dimana setiap daerah punya kebiasaan masing-masing yang tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. Padahal, jika dilihat dari tataran filosofis, Instruksi Dirjen Bimas tersebut sangat bagus untuk dijadikan pedoman bagi setiap Kantor Wilayah Agama di setiap wilayah agar tercipta toleransi hidup beragama sehingga masyarakat dapat hidup dengan aman dan tertib.

 

Hak dan Kewajiban Asasi

Toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia memang sudah diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain guna menciptakan tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini diperkuat dengan Pasal 28 E ayat (1) yang mengatur bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”.

 

Kedua pasal tersebut memberikan gambaran bahwa Negara Indonesia menjadikan hak beragama bagi setiap warga negaranya sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun kecuali dalam hal bertentangan dengan moral, nilai agama, keamanan dan ketertiban umum yang dituangkan dalam Pasal 28 J UUD 1945. Bahkan disebutkan dalam ayat (1) pasal tersebut mengenai adanya kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia lainnya.

 

Menurut Jimly Ashshiddiqie dalam bukunya berjudul Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban asasi dimana konsep HAM di Indonesia tidak bersifat sekuler. Konsep HAM di Indonesia adalah konsep HAM yang berdasarkan Pancasila sehingga hak-hak individu yang dijamin oleh UUD tidak lepas dari hak-hak sosial. Artinya, ada hak sekaligus kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap individu di lingkungan sosialnya dimanapun dia berada.

 

Pelaksanaan dari hak beragama tadi dijamin dalam Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang mengatur mengenai kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama maupun kepercayaan atas pilihannya sendiri secara bebas, baik secara individual atau bersama-sama dengan orang lain di tempat umum/tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan, dan pengajaran. Tidak seorangpun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.

 

Selain mengenai HAM, kebebasan beragama juga terkadang dikaitkan dengan praktek yang bukanlah suatu perbuatan yang diwajibkan namun menjadi kebiasaan di masyarakat seperti pelaksanaan peringatan hari raya besar Islam yang menggunakan lapangan milik kelurahan, kebiasaan membangunkan sahur dengan alat musik gendang yang dimainkan oleh pemuda di kampong, potong sapi kurban yang diperdengarkan ke seluruh RT dengan speaker dan lain. Kebiasaan tersebut tidaklah Ibadan yang diwajibkan namun menjadi kebiasaan bagi masyarakat yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari adanya penerimaan dan rasa kepemilikan terhadap Islam yang tinggi sehingga sangat bersemangat untuk mengkreasikan ibadah-ibadah tanpa melanggar syariat. Tentunya, hal ini tidak dapat disebut sebagai intoleransi jika pelaksanaannnya tidak mengganggu ketertiban umum dalam arti telah izin pejabat setempat, diketahui oleh masyarakat dan mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan.

 

Surat Edaran dan Instruksi Dirjen Bimas dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan

Pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No: XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Di dalam lampirannya angka II huruf A, diatur mengenai bentuk peraturan perundang-undangan sebagai berikut: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan pelaksana lainnya seperti:

  • Peraturan menteri
  • Instruksi menteri
  • Dan lain-lainya.

Dalam TAP MPR tersebut tidak disebutkan instruksi dirjen sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, instruksi dirjen bimas tahun 1978 tersebut bukanlah peraturan perundang-undangan yang mempunyai daya ikat untuk masyarakat seperti peraturan perundang-undangan lainnya.

 

Melihat kebutuhan dari perubahan struktur ketatanegaraan dan perubahan UUD 1945, dibuatlah undang-undang tersendiri mengenai peraturan perundang-undangan melalui UU Nomor 10 Tahun 2004. Undang-undang tersebut diubah lagi dengan UU Nomor  12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

 

Apabila dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tersebut, terlihat juga bahwa Instruksi Menteri apalagi instruksu Dirjen bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Padahal yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan. Artinya, Instruksi Dirjen bukanlah aturan yang mengikat secara umum kepada masyarakat, hanya untuk internal kelembagaan tersebut.

 

Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/’78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara  di Masjid dan Musholla tersebut berisikan norma “peringatan” dan “perintah” yang ditujukan kepada Kepala Bidang Penerangan Agama Islam, Kepala Seksi Penerangan Agama Islam, Kepala Bidang Urusan Agama Islam, Kepala Seksi Urusan Agama Islam, dan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan di seluruh Indonesia, dimana mereka diinstruksikan untuk memberikan tuntunan, bimbingan, dan petunjuk kepada para pengurus masjid/musholla di daerah masing-masing tentang Penggunaan Pengeras Suara  di Masjid dan Musholla.

 

Melihat obyek atau sasaran dari Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut yang ditujukan kepada para pejabat di lingkungan Kementerian Agama, maka memenuhi unsur penetapan yang bersifat individual, konkrit, dan final.

 

Sedangkan Surat Edaran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor B3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/’78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musholla merupakan pernyataan atau himbauan dari Direktur Jenderal menanggapi banyaknya pertanyaan masyarakat terkait penggunaan pengeras suara. Tujuan dari dikeluarkan surat ederan agar pejabat di lingkungan Kementerian Agama yaitu Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi pejabat di bawahnya se Indonesia memberikan penjelasan, bimbingan, dan pelayanan kepada masyarakat serta menyosialisasikan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/’78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara  di Masjid dan Musholla. Sebagai pejabat tata usaha negara Direktur Jenderal dapat membuat instruksi atau pun surat edaran sepanjang materi yang diatur tidak bertentangan dengan norma hukum diatasnya.

 

Mengenai daya laku terhadap masyarakat, maka Instruksi Direktur Jenderal atau pun Surat Edaran tidak mempunyai daya laku karena norma hukum berupa Instruksi Direktur Jenderal yang merupakan pejabat tata usaha negara hanya ditujukan kepada bawahannya saja. Maka, sesungguhnya masyarakat di satu sisi tidak perlu khawatir akan instruksi ini karena tidak ada daya paksa di dalamnya yang dapat mengikat masyarakat secara umum. Hal ini bisa dilihat juga dari Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 2018 yang ditujukan hanya kepada sekretaris Pengadilan Tingkat Banding dan Tingkat Pertama pada empat lingkungan peradilan Seluruh Indonesia. SEMA bersifat internal dan ditujukan kepada pejabat di lingkungannya saja sehingga daya paksanya hanya terhadap pejabat yang dituju.

 

Dalam membuat sebuah instruksi tentunya harus didasari dengan kondisi yang menyebabkan pentingnya adanya instruksi tertentu yang bahkan secara spesifik ditujukan terhadap suatu hal yang teknis. Hal ini dapat dilihat dari konsideran menimbang hurup b yang berbunyi sebagai berikut:

 

  1. bahwa meluasnya penggunaan pengeras suara tersebut selain menimbulkan kegairahan beragama dan menambah syiar kehidupan beragama, juga sekaligus pada sebagian lingkungan masyarakat telah menimbulkan ekses-ekses rasa tidak simpati disebabkan pemakaiannya tidak memenuhi syarat.

 

Kalimat “…pada sebagian lingkungan masyarakat telah menimbulkan ekses-ekses rasa tidak simpati..” ini perlu dibuktikan dengan adanya riset terlebih dahulu mengenai kepuasan atau adanya ketidaksimpatian terhadap penggunaan pengeras suarat di masjid-mesjid. Berapa persentase masyarakat baik muslim maupun non muslim yang memang terganggu oleh adanya pengeras suara di masjid yang harusnya bisa merepresentasikan urgensi dari dibentuknya pembatasan dalam instruksi ini. Kalimat tersebut terkesan hanya opini semata dari kementerian agama mengenai ketidakpuasan terhadap penggunaan pengeras suara bukan secara nyata hasil dari assessment kementrian agama sehingga menjadikan alasan pembuatan instuksi dirjen ini menjadi penting.

 

Lanjutan kalimat lainnya “…disebabkan pemakainnya tidak memenuhi syarat” juga menjadi sorotan tersendiri dimana tidak ada peraturan perundang-undangan manapun di Indonesia yang memberikan standar mengnai pengeras suara. Artinya, Dirjen Bimas sehrarusnya menggunakan kalimat positif bahwa dengan hasil riset bahwa adanya ketidaksimpatian terhadap penggunaan pengeras suara di mesid menjadikan pentingnya dibuat suatu aturan mengenai pengeras suara. Tidak perlu seola-olah menyalahkan pihak masjid dan mushola dengan kalimat tidak memenuhi syarat karena tidak ada aturan yang dilanggar dengan belum adanya pengaturan terhadap hal tersebut.

 

Selain itu, ada hal menarik lainnya dalam isi Instruksi Dirjen Bimas ini yaitu dalam hal toleransi beragama dan bermasyarakat dimana di satu sisi Instrusi ini menginstruksikan masyarakat untuk toleransi terhadap agama lain namun menyandingkan toleransi dengan kehidupan masyarakt yang majemuk di perkotaan. Padahal, jika toleransi beragama disandingkan dengan toleransi terhadap masyarakt harus mempunyai tolak ukur juga, masyarakat mana yang harus ditoleransi dan masyaraakt mana yang harus memberikan toleransi?

 

Selain itu, perlu adanya riset secara sosiologis mengenai perubahan masyarakat saat ini serta kebiasaan yang ada di setiap daerah. setiap daerah mempunyai kekhasan tersendiri dan cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah toleransi. Misalkan di daerah Sumatera Utara yang masyarakatnya majemuk, perlu aturan khusus untuk menertibkan dan menciptakan toleransi beragama yang baik. Namun, di daerah yang masih homogen seperti Aceh misalkan tentu tidak perlu lagi aturan mengenai teknis peribadahan karna bisa jadi masyarakatnya sudah sepakat dan satu suara serta percaya dan taat kepada pemerintah daerahnya. Hal-hal seperti ini perlu dijadikan focus bagi pemerintah terutama dengan bantuan kementerian agama untuk melihat kebutuhan dari masyaraakt akan sebuah aturan yang bersifat general dan berlaku bagi semua masyarakat.

 

Kesimpulan

Keberadaan Surat edaran dan instruksi Dirjen Bimas pada dasarnya bukanlah sebuah peratruran perundang-undangan yang mengikat secara umum sehingga tidak mempunyai daya paksa terhadap masyarakat sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan daya paksa dari instruksi ini namun tetap harus memberikan ruang untuk pelaksanaannya yang juga harus mempertimbangkan kondisi masyarakat. Daya ikatnya hanya untuk pihak yang menjadi adressat nya dalam hal ini Kepala Kantor Wilayah Agama Provinsi. Meskipun demikian, perlu juga dilakukan review terhadap isi dan landasan yang mendasari dikeluarkannya instruksi ini dengan alasan:

  1. Pelaksanaan toleransi beragama juga harus didasarkan pada HAM yang berdasarkan Pancasilla dimana hak individu tidak lepas dari hak sosial sehingga perlu dibuat lebih komprehensif sehingga Kementerian Agama menjadi tempat yang tepat untuk memberikan lingkungan toleransi yang baik di kalangan umat beragama di Indonesia.
  2. Instruksi ini belum memenuhi kaedah yang baik dalam hal pembuatan aturan hukum dimana harus ada landasan yang mendasari pentingnya pembuatan instruksi ini sehingga tidak hanya sekadar menjawab kebutuhan sekelompok kecil maysarakat tetapi memuaskan semua kalangan masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan.

 

Oleh sebab itu, perlu adanya sebuah perubahan instruksi terkait pedoman penggunaan pengeras suara yang bersifat lebih umum dan memungkinkan untuk semua pihak. Selain itu, keberadaan instruksi yang sudah sangat lama ini tentunya membutuhkan sebuah riset mendalam terkait perubahan sosial yang terjadi sehingga instruksi tersebut tepat sasaran dan dapat dilaksanakan, bukan sekadar formalitas saja