Ketika Pancasila Diuji Dengan Pancasila
Oleh:
Helmi Al Djufri*
Setelah saya mengkaji dan menganalisis Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) secara seksama, saya merasa ingin tertawa berbalut rasa sedih ketika membayangkan nanti masyarakat berbondong-bondong menguji Pancasila dengan Pancasila dan UUD 1945 (Konstitusi) di Mahkamah Konstitusi jika RUU HIP disahkan menjadi UU. Timbul pertanyaan konyol; “manakah yang menang, Pancasila dalam UU HIP atau Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945?”.
Sebagai seorang Advokat yang telah disumpah dengan lafaz Demi Allah, Saya Bersumpah yang bait sumpah pertama berbunyi: “Bahwa saya akan memegang teguh dan mengamalkan Pancasila sebagai Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia” pada akhirnya Pancasila tidak lagi menjadi dasar negara, melainkan menjadi UU yang kedudukannya di bawah UUD 1945 sebagaimana ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No.15 Tahun 2019.
Masyarakat yang pernah mengajukan Permohonan Uji Materil di MK pastinya pernah merasakan bagaimana nuansa ideologis selama persidangan, ketika suatu UU diuji dengan batu ujinya UUD 1945 dan argumen nilainya mendasarkan pada Pancasila. Seperti contoh kasus Perkara No.: 46/PUU.XIV/2016, yang menguji pasal-pasal kesusilaan di KUHP terhadap UUD 1945.
Terjadi diskursus yang sangat serius antara para Ahli dari Pemohon dengan majelis hakim dan kuasa hukum baik Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait dengan berbagai argumen filosofis, argumen hukum, sosiologis, psikologis. Pada prinsipnya semua mendasarkan pengujiannya pada Pancasila sebagai sumber hukum negara dan UUD 1945, apakah pasal-pasal kesusilaan tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 atau tidak. Hakim MK pun selalu menegaskan pernyataannya, yang kurang lebih sebagai berikut: “bahwa negara Indonesia ini didasarkan pada Pancasila yang disinari dengan sinar Ketuhanan”. Sungguh apik dan simpatik sekali pernyataan tersebut hingga saya sebagai salah satu tim hukum Pemohon masih selalu ingat pernyataan itu.
Sangat ironi, kualitas dan kapasitas legislatif c.q. DPR RI dalam membentuk RUU HIP yang tidak memikirkan jauh ke depan implikasi yuridisnya, belum lagi implikasi sosiologis apabila RUU HIP disahkan menjadi UU, sejatinya akan banyak berbenturan dengan UUD 1945 dan UU lainnya. Sehingga Pancasila tidak lagi menjadi sumber hukum negara yang memandu masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, tidak lagi menjadi batu uji konstitusionalitas UU, malah menjadikan Pancasila sebagai objek yang diuji. Inilah yang dimaksud dengan menurunkan derajat (downgrade) Pancasila.
Pancasila bersifat ajeg, keberadaannya menjadi pedoman, panduan, haluan dan sumber dari segala sumber hukum negara. Sedangkan UU bersifat dinamis, bisa berubah sesuai perkembangan dan kebutuhan jaman, karenanya UU bisa diubah bahkan dicabut. Sangat tidak lucu jika ideologi negara diubah-ubah atau dicabut. RUU HIP pada hakikatnya membawa jatuh ideologi dari alam pikiran berupa gagasan besar ke dalam tataran politik hukum. Sifat UU itu terbuka; eksistensinya bisa diuji dan dipertentangkan, sedangkan Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945 tidak akan pernah berubah. Seyogyanya DPR RI memahami hal ini.
*Penulis adalah Pegiat HAM & Advokat PAHAM Jakarta