Pertanyaan:
Saya aina mahasiswa semester 6. Sekarang banyak informasi beredar terkait pro dan kontra RUU p-ks. Di tengah kabar pelecehan seksual yang semakin merebak dan semakin parah, ada bbrp lembaga islam yang menolak ruu tsb dengan narasi antara lain
1) mengakui hasrat seksual yg berbeda (Homoseksualitas) berdasarkan definisi pelecehan seksual sehingga dpt kriminalisasi pengkritik lgbt
2) potensi kriminalisasi kritik thdp gaya berpakaian seseorang
3) melegalkan aborsi
4) mengakui profesi pelacuran dan hubungan atas dasar persetujuan (konsensual)
Namun beredar juga bantahan terkait asumsi tsb karena di luar konteks dan sudah diatur perihal poin di atas di uu ataupun ruu lain sehingga kekhawatiran bbrp golongan akan potensi ruu p-ks menjadi pasal karet merupakan hal yang keliru menurut mereka.
Pertanyaan saya, sebenarnya dalam perspektif hukum,
- apakah benar RUU P-KS berpotensi menjadi uu pasal karet? Atau sebenarnya ruu tersebut tidak tumpang tindih dengan aturan uu lain seperti perzinahan dsb dan kekhawatirannya salah?
- Lebih besar mudhorot ruu tsb disahkan atau tidak disahkan melihat fenomena pelecehan seksual yang semakin mengkhawatirkan?
Terimakasih banyak
Jawaban Oleh :
Nurul Amalia, S.H., M.H.
Direktur PAHAM Indonesia Cabang Jakarta
Halo Mba Aina,
Terimakasih atas pertanyaan yang disampaikan melalui Web Paham Indonesia.
Kami akan menjawab secara sekaligus pertanyaan mengenai “Polemik” yang terjadi seputar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (atau biasa disingkat dengan RUU P-KS).
Pro dan kontra mengenai RUU P-KS yang ada di masyarakat saat ini, tentu saja disikapi dengan beragam pemikiran di kalangan masyarakat Indonesia. Adapun bagi masyarakat yang masih menganggap adanya Kontroversi tersebut, bersumber dari “Pemahaman ideologis dan paradigmatik konsep kekerasan seksual” di dalam naskah akademik dan Rancangan Undang-undangnya.
Lebih lanjut, kontorversi pun dapat dilihat pada Isi Pasal-pasal dalam RUU P KS yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai ketuhanan. Apabila ditelaah secara mendalam, bahwa memahami sebuah RUU tentu tidak dapat dilepaskan dari memahami substansi Naskah Akademiknya, dalam Naskah Akademik RUU P KS para penyusun dengan sengaja “mengkonfrontir” nilai-nilai agama sebagai salah satu sumber terjadinya kekerasan seksual, dan landasan filosofis yang dibangunnya didasarkan pada ideologi feminis radikal (menggunakan feminis legal theory sebagai teori dalam mengkonstruksikan kekerasan seksual). Di samping itu pula, dalam mendefinisikan kekerasan seksual, tidak menguraikan bentuk kekerasan seksual tersebut sebagai konsep kejahatan seksual, sehingga muatan substansinya berpersfektif obyektif dan normative. Misalnya saja Secara obyektifà kejahatan seksual juga seringkali menimpa laki-laki dan anak laki-laki sebagai korbannya, kemudian hubungan seksual bebas yang lebih dominan telah menjadi realitas sosial masyarakat tidak disinggung sedikitpun dalam naskah akademik dan RUU nya.
Penolakan masyarakat terhadap pengesahan RUU P- KS menjadi peraturan per uu an, bukan semata karena tidak pro terhadap korban “kekerasan seksual”, akan tetapi masyarakat membutuhkan peraturan per UU an yang secara komprehensif mengatur juga perilaku seks bebas (zina) termasuk persetubuhan karena persetujuan, pelacuran sukarela dan penyimpangan seksual yang sudah seharusnya mengakomodir perbuatan tersebut sebagai perilaku yang melanggar norma agama dan kesusilaan. Sedangkan pengaturan RUU P-KS yang hanya membatasi kekerasan seksual pada persetubuhan yang dipaksakan saja, tidak mengakomodir seluruh perbuatan kejahatan seksual atau kesusilaan seperti seks bebas, perilaku seks menyimpang (LGBT), dan pelacuran di Indonesia. Di samping itu pula, penanganan kekerasan seksual seperti perkosaan dan pencabulan telah diatur dalam Pasal-pasal yang terdapat pada Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan dalam KUHP, dan tergantung penegakkan hukumnya agar penanganan kekerasan seksual menjadi lebih maksimal.
RUU P-KS pun tentu saja akan berpotensi menjadi pasal karet mengingat definisi “Hasrat seksual” yang tidak dapat diukur dan dibatasi dalam sebuah perbuatan apa saja, sehingga peraturan per uu an harus memuat kejelasan frasa dalam pengaturannya, tidak dapat diartikan secara multi tafsir.
Sebagaimana kita ketahui, dalam definisi kekerasan seksual terdapat frasa “setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, Hasrat seksual seseorang”. Sehingga pada definisi Hasrat seksual yang tidak jelas ini dapat diartikan dengan penafsiran yang berbeda, apakah termasuk Hasrat seksual seseorang yang mengalami penyimpangan seksual semisal LGBT, kemudian direndahkan, dihina dan diserang akan menjadi sebuah perbuatan termasuk kekerasan seksual terhadap orang tersebut. Tentu saja penggunaan frasa “Hasrat seksual” akan menjadi pasal karet yang memudahkan timbulnya kriminalisasi terhadap seseorang. Sebagai contoh apabila ada kajian yang focus membahas mengenai perilaku seksual menyimpang, kemudian apabila seseorang yang merasa memiliki “Hasrat seksual” berbeda yang dianggap oleh orang lain sebuah penyimpangan, maka orang tersebut akan mudah menganggap dirinya mengalami kekerasan seksual karena merasa dihina dijadikan bahan pembahasan sebagai perilaku seksual yang menyimpang. Dengan demikian apabila RUU P-KS disahkan akan menimbulkan permasalahan baru mengenai persepsi “penyimpangan seksual” yang saat ini dianggap sebagai hal yang melanggar norma agama dan kesusilaan di masyarakat.
Dalam definisi “Kekerasan Seksual” sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1:
“Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”.
Kemudian Memaknai frasa “Hasrat seksual” lainnya di dalam definisi kekerasan seksual pada RUU P-KS yaitu menghendaki secara eksplisit hubungan seksual dapat dilakukan secara suka sama suka(persetubuhan dengan persetujuan atau Sexual consent) tidak termasuk ketentuan pidana, begitupun dengan aktifitas homoseksual. Sehingga, RUU P-KS secara substansi bertentangan dengan asas-asas umum yang berlaku di masyarakat dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28J:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokaratis.”
Apabila RUU P-KS disahkan pun tentu saja akan mengalami tumpang tindih dalam kedudukannya sebagai pengaturan yang sama-sama mengatur terkait kekerasan seksual di dalam aturan RUU KUHP (apabila disahkan), akan terjadi benturan hukum yang mengakibatkan hambatan bila ditemukan adanya 2 (dua) aturan yang saling berbenturan yang mengatur hal yang sama seperti Kekerasan seksual dalam RUU P KS dan kekerasan seksual di dalam KUHP dan RUU KUHP yang akan disahkan nantinya. Sehingga permasalahannya adalah aturan mana yang dipakai dan mana yang akan dikesampingkan dalam impelementasinya akan dulit ditentukan.
Apabila RUU KUHP pun disahkan, pengaturan mengenai kejahatan seksual dalam RUU KUHP pun telah diatur secara komprehensif. Sehingga akan terjadi konflik norma hukum peraturan mengenai kejahatan seksual, karena dalam muatan aturannya pada RUU KUHP bentuk-bentuk perbuatan kejahatan seksual (termasuk kekerasan seksual seperti perkosaan dan pencabulan di dalamnya) pun telah diatur, termasuk perbuatan seks bebas, kohabitasi (tinggal Bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah), kejahatan sodomi (laki-laki memperkosa laki-laki) dan perilaku seks menyimpang, bahkan perbuatan-perbuatan kejahatan seksual/kesusilaan yang bahkan tidak diakomodir dalam RUU P-KS. Sehingga pengaturan dalam RUU KUHP yang akan disahkan sebagai paying hukum segala perbuatan kekerasan seksual maupun kejahatan seksual tentu saja akan menyingkirkan pengaturan mengenai kekerasan seksual yang diatur dalam RUU P-KS. Sebagaimana asas-asas hukum yang dipahami “asas norma hukum yang baru mengesampingkan norma hukum yang lama (lex posterior derogate lex anteriory)”.
Tumpang tindihnya sebuah peraturan per UU an tentu akan menyulitkan dalam penegakkan hukum (law enforcement).
Menjawab pertanyaan Saudari mengenai besar atau kecilnya mudharat apabila RUU P-KS disahkan, mengingat maksud dan tujuan yang sebenarnya penyusunan RUU P-KS sudah sangat jelas, disembunyikan dalam pasal-pasal mengenai jenis-jenis atau bentuk kekerasan seksual. Masyarakat yang menolak RUU P-KS sadar akan ketidaksesuaian nilai atau norma yang digunakan di dalam Naskah Akademik RUU P-KS. Bahkan di dalam naskah akademiknya tercantum bahwa “agama adalah sumber ajaran kekerasan”. Tentu saja, apabila RUU P-KS ini disahkan akan terdapat implikasi lain yaitu dikesampingkannya nilai-nilai agama dan kesusilaan yang telah menjadi nilai luhur bangsa Indonesia.
Demikian yang dapat kami sampaikan, terimakasih.