Perintah kapolri untuk menggerakkan Brimob ke Jakarta, mendapatkan kritik dari aktivis. Rozaq Asyhari, (30/10) dari Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Indonesia, ia menilai langkah tersebut kurang tepat.
“Seharusnya Kapolri menggerakkan Sabara, bukan Brimob. Biasanya di masing-masing polda ada 2 kompi, sedangkan pada Polres ada 1 pleton. Untuk mengamankan penyampaian pendapat dimuka umum atau unjuk rasa, itu tugas mereka”, ujar Sekjend PAHAM Indonesia tersebut.
Lebih lanjut Rozaq menyampaikan, bila yang diurunkan adalah pasuka Brimob seolah akan ada skenario caos.
“Kalau Brimob yang di gerakkan Kapolri, ini berarti yang bekerja adalah satuan PHH. Seolah yang bakal terjadi adalah kerusuhan, padahal aksi 4 November sebenarnya bentuk dukungan masyarakat kepada Polri untuk menegakkan hukum. Jadi kegiatan tersebut sebenarnya dukungan moril terhadap kinerja polri, sebaiknya jangan di respons terlalu berlebihan,” papar pengacara publik dari PAHAM Indonesia tersebut.
Namun demikian Rozaq menghormati keputusan Kapolri tersebut, tentunya ada pertimbangan khusus sehingga langkah tersebut diambil.
“Itu kewenangan Kapolri, beliau lebih tahu terhadap langkah institusi Polri. Namun saya mengingatkan agar aparat tidak bertindak berlebihan, tidak perlu represif apalagi pakai instruksi tembak di tempat. Aksi penyampaian pendapat dimuka umum itu dilindungi oleh Undang-Undang, jadi polisi harus mengayomi dan mengamankan kegiatan tersebut,” tukas kandidat doktof dari Fakultas Hukum UI Tersebut.
“Sekali lagi perlu disadari bahwa aksi mereka adalah bentuk kepercayaan terhadap Polri, sehingga masyarakat lebih memilih tidak main hakim sendiri, melainkan menyerahkan persoalan ini kepada penegak hukum,” tutupnya.
Dakta.com