Jakarta, 09 Desember 2021
Nomor : 12/K/OBH/PAHAM-Ind/XII/2021
Perihal : Pendapat Hukum
Tentang Unlawful Killing 6 Orang Laskar FPI
Kepada:
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
yang memeriksa perkara nomor: 867/Pid.B/2021/PN.Jkt.Sel
atas nama Terdakwa Fikri Ramadhan dan M. Yusmin Ohorella
Di
d/a: Jl. Ampera Raya Nomor 133 Jakarta Selatan
“UNLAWFUL KILLING ENAM PENGAWAL HRS
HARUS DIJATUHKAN HUKUMAN YANG BERAT”
AMICUS CURIAE Diajukan oleh:
PUSAT ADVOKASI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
(PAHAM) INDONESIA
I. PERNYATAAN KEPENTINGAN
Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) (selanjutnya disebut “PAHAM Indonesia”) adalah organisasi bantuan hukum di bawah naungan Yayasan Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia dan telah terakreditasi di Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta. PAHAM telah berdiri sejak tahun 1998 yang memiliki tujuan: 1) Menegakkan keadilan melalui penciptaan kepastian hukum (certainty of law) dan kesamaan di depan hukum (equality before the law); 2) Menegakkan hak asasi seluruh rakyat, secara khusus rakyat yang lemah dan miskin, melalui layanan advokasi/ bantuan hukum yang terarah dan profesional; 3) Memberdayakan rakyat melalui sarana-sarana hukum, sehingga tercipta kesadaran dan kepatuhan hukum.
Berdasar tujuan tersebut, PAHAM Indonesia memiliki kepentingan terhadap perkara-perkara hukum yang sedang berlangsung, guna mencapai tujuan tersebut, PAHAM Indonesia mengajukan Amicus Curiae dengan kepentingan:
- Ketertiban Publik; bahwa kematian 6 (enam) orang Laskar FPI pengawal Habib Riziq Shihab yang terjadi pada 7 Desember 2020 pengungkapan kasusnya masih menjadi misteri dan menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia dan dunia. Kronologi kasus yang disampaikan oleh pihak kepolisian berbeda dengan yang disampaikan oleh beberapa saksi. Hal ini menimbulkan gejolak di tengah masyarakat sehingga ketertiban publik pun terganggu. Berbagai spekulasi bermunculan mengenai kasus penembakan yang berujung pada pembunuhan 6 (enam) orang pengawal HRS ini. Sudah sepatutnya kondisi ini wajib diperbaiki oleh seluruh elemen masyarakat dengan memberikan hukuman yang setimpal kepada Terdakwa oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa perkara a quo guna mengembalikan ketertiban publik. .
- Pemenuhan Rasa Keadilan Masyarakat; bahwa penembakan terhadap 6 (enam) pengawal HRS ini terjadi secara sistematis, dilakukan oleh aparat negara di luar kewenangannya (unlawful killing). Guna memenuhi rasa keadilan masyarakat, maka Terdakwa harus dihukum seberat-beratnya. Rasa keadilan ini yang menjadi dasar perjuangan masyarakat Indonesia dalam mengawal kasus tewasnya 6 (enam) pengawal HRS yang ditembak mati oleh Terdakwa pada 7 Desember 2020.
- Kepastian Hukum Dalam Proses Peradilan Bagi Setiap Pelaku Kejahatan Dihukum Sesuai Hukum yang Berlaku; bahwa kejahatan mengenai pembunuhan terhadap 6 (enam) pengawal HRS perlu memberikan kepastian hukum bagi Terdakwa dalam proses peradilan yang transparan, bersih dan independen dari segala campur tangan kekuasaan dan pengaruh uang maupun ancaman-ancaman dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dengan diberikannya hukuman terberat (maksimum) kepada Terdakwa.
- Dari keseluruhan kepentingan tersebut di atas adalah PAHAM Indonesia mengajukan Amicus Curiae sebagai bentuk social control on criminal justice system (pengawasan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana) di Indonesia; bahwa kepentingan ini perlu menjadi salah satu dasar bagi Majelis Hakim dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagaimana yang termaksud secara jelas dan tegas pada Pasal 28 (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
II. RINGKASAN FAKTA HUKUM
- Bahwa Terdakwa yang sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 867/Pid.B/2021/PN.Jkt.Sel melanjutkan agenda Keterangan Saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada hari Selasa tanggal 15 November 2021 yang merupakan lanjutan keterangan saksi dari persidangan sebelumnya hari Selasa tanggal 09 November
- Bahwa selama proses persidangan berlangsung sejak agenda Pembacaan Dakwaan, keluarga korban dan banyak masyarakat datang di lokasi persidangan dengan tujuan mengawal jalannya persidangan guna memperjuangkan rasa keadilan dan memastikan Terdakwa mendapat hukuman maksimum sesuai dengan ketentuan Pasal 338 KUHP yaitu 15 (lima belas) tahun penjara.
III. SEKILAS TENTANG AMICUS CURIAE
- Bahwa Amicus Curiae (bahasa latin, yang diartikan sebagai “Teman/ Sahabat Peradilan”) merupakan konsep hukum dari tradisi hukum Romawi yang pada masa-masa berikutnya berkembang pada sistem common law, sehingga pengadilan dapat memanggil pihak ketiga atau pihak luar yang tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung untuk mendengar/mendapatkan informasi dan fakta hukum terkait permasalahan kontemporer yang belum populer.
- Walaupun pengajuan Amicus Curiae tidak memiliki kepentingan dengan perkara secara langsung karena yang mengajukan sebagai pihak ketiga/ pihak luar, tetapi pengaju Amicus Curiae merasa memiliki kepentingan terhadap perkara hukum yang berlangsung di Pengadilan dengan mengajukan pendapat hukum kepada Pengadilan.
- Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia Amicus Curiae belum dikenal secara luas oleh masyarakat, namun pengajuan Amicus Curiae ini juga sebagai bentuk ekpresi kesadaran hukum masyarakat atas segala bentuk proses penegakkan hukum yang berlangsung di Pengadilan, hal ini juga didasar pada Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 jo UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang secara jelas dan tegas dinyatakan “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Maka, pengajuan Amicus Curiae ini dapat membantu Pengadilan khususnya Majelis Hakim yang memeriksa perkara mendapatkan informasi tambahan dan menjadi pegangan dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
IV. TINDAKAN UNLAWFUL KILLING ADALAH SUATU PELANGGARAN HAM PERLU DIBERIKAN HUKUMAN YANG BERAT
- Dikutip dari Amnesty International USA, extra judicial killing atau unlawful killing adalah tindakan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan atas perintah pemerintah atau pihak berkuasa lain. Dalam penjelasan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, extrajudicial killing termasuk sebagai pelanggaran HAM yang berat.
- Dalam buku Hukum Pidana Terorisme Teori dan Praktik (Mahrus Ali) tertulis, tindakan extrajudicial killing memiliki ciri-ciri seperti berikut: 1) Melakukan tindakan yang menimbulkan kematian; 2) Dilakukan tanpa melalui proses hukum yang sah; 3) Pelakunya adalah aparat negara; 4) Tindakan yang menimbulkan kematian tersebut tidak dilakukan dalam keadaan membela diri atau melaksanakan perintah undang-undang.
- Namun kemudian dalam keterangannya Komnas HAM menjelaskan bahwa peristiwa pembunuhan 6 orang Laskar FPI pengawal HRS yang terjadi di KM 50 Tol Cikampek bukan merupakan pelanggaran HAM Berat, meskipun terindikasi adanya unlawful killing. Sehingga dengan temuan tersebut, kasus ini kemudian disidangkan melalui peradilan umum.
- Meskipun kemudian kasus ini disidangkan melalui peradilan umum, namun Majelis Hakim diharapkan tidak mengabaikan berbagai fakta hukum yang terjadi selama proses persidangan berlangsung. Seperti adanya penggunaan senjata api secara brutal yang digunakan oleh Terdakwa selaku aparat kepolisian yang kemudian menjadi alat bukti dari terjadinya pembunuhan kepada 6 orang Laskar FPI pengawal HRS.
- Berdasarkan UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Official 1990, penggunaan senjata api hanya diperbolehkan untuk tujuan melumpuhkan bukan membunuh. Terhadap hal ini, Majelis Hakim diharapkan mampu mempertimbangkan keterangan saksi-saksi.
- Bahwa berdasarkan Perkapolri No. 8 No. Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, sepatutnya suatu tindakan kepolisian harus memenuhi prinsip dan standar HAM dan bukan malah melahirkan pelanggaran HAM.
- Bahwa berdasarkan Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, Pasal 3 tentang prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian meliputi:
- legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku;
- nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi;
- proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan;
- kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
- preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan;
- masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahayanya terhadap masyarakat.
V. REKOMENDASI
Berdasar uraian tersebut di atas, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa perkara nomor: 867/Pid.B/2021/PN.Jkt.Sel untuk menjatuhkan vonis kepada Terdakwa Fikri Ramadhan bersama-sama dengan M. Yusmin Ohorella dengan hukuman yang seberat-beratnya yaitu 15 (lima belas) tahun, sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menjerat Terdakwa dengan Pasal 338 jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP dan juga memperhatikan dinamika pergolakan yang terjadi di tengah masyarakat yang menuntut keadilan.
Demikian Amicus Curiae ini kami ajukan kepada yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memeriksa perkara a quo.
PUSAT ADVOKASI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (PAHAM) INDONESIA
Ketua Yayasan
Busyra Nasution, S.H.
Narahubung: Bayu Arif Pramintyo ( 081211315054 )