Polemik RUU KUHP

Pada 18 Oktober 2019, Divisi Kajian dan Studi Kebijakan PAHAM Indonesia kembali mengadakan kajian rutin yang pada pertemuan ke 25 ini menghadirkan seorang advokat senior perempuan yaitu Ibu Evi Risna Yanti, S.H., MKn. Tema yang diusung adalah terkait polemik RUU KUHP yang sedang marak dijadikan bahan kajian oleh hampir semua lembaga kajian karena isinya menyangkut kpentingan semua golongan.

 

Kajian mengenai RUU KUHP ini berbicara mengenai beberapa pasal yang kontroversi yang menjadi alasan mengapa rancangan undang-undang tersebut belum juga disahkan. Evi Risna Yanti memulai dengan pembahasan Pasal 2 dimana pasal tersebut mengakui keberadaan hukum adat beserta sanksinya yang pada KUHP saat ini belum diakomodir. Hal ini menurut Evi menjadikan pasal ini di satu sisi melegakan bagi kelompok yang mengangap pasal-pasal tertentu seperti pasal mengenai zina dapat dihukum dengan hukuman adat, karena sanksi pada RUU saat ini sangat ringan dan dianggap tidak membuat jera pelaku zina. Namun, di sisi lain pasal ini membuat kelompok tertentu resah karena pasal ini dianggap menyimpang dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

 

Rumusan pasal yang disetujui Panja pada Bulan Agustus 2019 tersebut menurut Evi layak untuk dijadikan norma dalam RUU KUHP ini, karena hukum adat merupakan salah satu hukum yang diakui di Indonesia. Apalagi, Indonesia dengan ideology Pancasila nya mengakui adanya keberagaman di masyarakat, baik adat, agama dan ras serta golongan. Tentunya, rumusan tersebut membuat paradigma keberagaman di Indonesia menjadi sebuah hal yang dapat dirumuskan dalam norma hukum. Hal ini penting karena perbedaan adat akan membuat perbedaan pula dalam cara pandang melihat sebuah rumusan pidana. Misalkan terkait zina, ada adat yang memandang zina harus dihukum dengan hukuman fisik berat, namun ada juga adat yang memandang zina dapat dihukum dengan hukuman sosial.

 

Ada beberapa pasal yang dianggap kontroversial seperti pasal mengenai adanya sanksi terhadap gelandangan. Hal ini seharusnya dipandang positif karena pasal ini dapat menjerat tindakan PSK yang berkeliaran di malam hari. Namun, pasal ini tidak akan menjerat karyawaan atau buruh yang pulang di malam hari karena yang dimaksud dengan gelandangan adalah seseorang yang hidup dalam keadaan yang tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak memiliki pekerjaan tetap dan mengembara di tempat umum sehingga hidup tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat. Maka, pasal mengenai sanksi terhadap gelandangan tidak akan menjerat di luar defenisi tersebut.

 

Pasal lain yang kontroversi adalah terkait dengan aborsi yang dirumuskan di dalam Pasal 470. Ada sekelompok orang yang tidak sepakat dengan larangan aborsi tersebut, padahal larangan aborsi sesungguhnya telat diatur di dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 75 UU Kesehatan mengatur bahwa terdapat dua kondisi pengecualian bagi larangan aborsi yaitu 1). Indikasi darurat medis dan 2). Korban pemerkosaan. Maka, larangan aborsi di dalam RUU KUHP seharusnya tidak perlu lagi diatur apalagi diperdebatkan karena sudah diatur di dalam Undang-Undang tentang Kesehatan.

 

Evi Risna Yanti menyampaikan bahwa pembahasan mengenai RUU KUHP tidak cukup dengan membahas RUU KUHP saja, karena ada RUU lain yang perlu dibahas beriringan dengan pembahasan RUU KUHP seperti RUU PKS. Hal ini dikarenakan ada beberapa pasal yang menurut Evi perlu diperdalam agar (diupayakan) RUU PKS ini tidak perlu disahkan, karena secara materi banyak yang sudah diatur di dalam undang-undang yang sudah ada