MENGENAL ENAM “KETUHANAN” DALAM RUU HIP

MENGENAL ENAM “KETUHANAN” DALAM RUU HIP*

Oleh:

Helmi Al Djufri*

 

Menanggapi tulisan Anton Hariyadi, S.H., di sindonews.com (15/6) berjudul “Siapa yang Membutuhkan RUU HIP?”, saya tertarik dengan ulasannya pada sub judul “Distorsi Makna Ketuhanan”, yang menurut pemikiran saya adanya suatu infiltrasi pemikiran dari pihak pembentuk UU.

 

Apabila kita mengkritisi secara teliti, maka tuhan yang dikonsepsikan di dalam RUU HIP telah mengalami delusi eksistensi menurut cara pandang pembentuk UU, bahwa selain sila Ketuhanan Yang Maha Esa, terdapat konsep lain tentang tuhan. “Distorsi Makna Ketuhanan” di dalam RUU HIP yang ditulis Anton Hariyadi, S.H., tersebut terdapat empat konsep: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, “ketuhanan”, “ketuhanan yang berkebudayaan” dan “berketuhanan”, namun akan saya rinci dari yang empat itu menjadi enam konsep ketuhanan, selanjutnya akan saya ulas berdasar tafsir otentik dari Naskah Akademik RUU HIP, Pasal maupun Penjelasannya, yaitu sebagai berikut:

 

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa, terdapat di Pasal 1 butir 2, Pasal 8 huruf f.
  2. Masyarakat Pancasila yang berketuhanan, terdapat di Pasal 1 butir 10.
  3. ketuhanan, terdapat di Pasal 3 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1).
  4. berketuhanan, terdapat di Pasal 4 huruf b.
  5. ketuhanan yang berkebudayaan, terdapat di Pasal 7 ayat (2).
  6. Tuhan Yang Maha Esa, terdapat di Pasal 12 ayat (3) huruf a dan huruf d.

 

Empat konsep tuhan menggunakan inisial berhuruf kecil, dan ini menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi saya, karenanya tulisan ini akan mencari penjelasan dari sumbernya langsung.

 

Pembahasan:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa, konsep yang sudah digali dari keyakinan yang ada di masyarakat, sebagai bentuk keberagaman keyakinan (agama) yang dianut bangsa Indonesia. Oleh karenanya Indonesia menegaskan jati diri bangsanya sebagai bangsa yang beragama, bukan bangsa sekulerisme; yang memisahkan agama dari negara, atau komunisme; yang menafikan adanya Tuhan, juga bukan negara dengan dasar satu agama saja, melainkan negara dengan agama-agama yang dianut masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang dapat ditelusuri dari sisi sejarahnya, bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan hasil musyawarah para pendiri bangsa sejak pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 tentang Pancasila, hingga lahirnya Piagam Djakarta 22 Juni 1945. Sehingga dengan kesepakatan bulat (konsensus) bangsa Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 sila pertama dinyatakan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pengganti 7 kata dari Piagam Djakarta sila “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, namun tanpa menghilangkan dan menghapus Piagam Djakarta itu sendiri. Hal ini dapat kita rujuk dari Naskah Akademiknya hal.7-10. Maka, konsep Ketuhanan Yang Maha Esa digunakan di seluruh pertimbangan lembaga negara sampai lapisan masyarakat, termasuk badan peradilan dalam menjatuhkan putusannya menggunakan kalimat pembuka “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, menurut saya hendaknya negara tidak menggunakan konsep lain selain Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

  1. Masyarakat Pancasila yang berketuhanan, konsep ini di dalam Naskah Akademiknya maupun Penjelasan pasal tidak membahas dasar, filsafat, maupun teori ilmu pengetahuan yang membentuk adanya Masyarakat Pancasila yang berketuhanan. Pancasila itu sendiri mengandung nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini ada dua masalah epistemologis: konsep “Masyarakat Pancasila” dan “Masyarakat Pancasila yang berketuhanan”. Jika terminologi “Masyarakat Pancasila yang berketuhanan” itu dipaksakan dalam norma UU, maka konsekuensi logisnya, terdapat Masyarakat Pancasila yang tidak berketuhanan dan Masyarakat Pancasila yang berketuhanan. Hal ini menjadi masalah besar bagi ilmu pengetahuan dan berdampak besar secara sosiologis. Menurut saya cukuplah sebagai masyarakat Indonesia, bahwa orang perorang warga negara Indonesia ini adalah masyarakat yang beragama, memegang teguh nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak perlu membuat terminologi baru yang dapat merusak ilmu pengetahuan, dan menunjukkan kekeliruan berpikir.

 

  1. ketuhanan, penjelasan terminologi ini terdapat dalam Naskah Akademik hal.51-52, yaitu “manusia menyadari bahwa dirinya terus menerus dalam proses menjadi (berubah) hingga berpuncak pada kesadaran bahwa ada kekuasaan tertinggi dan agung yang mengatur kehidupan manusia, yang disebut Kekuasaan Illahi, yang melandasi Ketuhanan”. Dalam RUU HIP ini kata “ketuhanan” menggunakan inisial huruf kecil, yang seharusnya menurut kaidah bahasa menggunakan inisial huruf besar jika terminologi itu ditujukan kepada makna Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana keterangan dalam Naskah Akademiknya. Jika diartikan “ketuhanan” secara teks, maka siapapun berhak menafsirkan materi sebagai tuhan, contoh: kekuasaan, uang, harta benda, pohon, dll. Maka, menurut saya penggunaan kata “Tuhan” harus disesuaikan dengan kaidah bahasa yang benar. Penjelasan di Naskah Akademik hal.4-5 pun kutipan perkataan Soekarno dan Roeslan Abdulgani menggunakan kata “ke-Tuhanan”.

 

  1. berketuhanan, kata ini menjadi predikat yang menyifatkan terhadap subyek; masyarakat dan bangsa, sebagaimana dalam Naskah Akademik hal.14, 16, 33, 56, 80 dan 82. Tidak ada penjelasan secara konseptual, tetapi hal lazim yang dapat digunakan sebagai penegasan sifat suatu subyek.

 

  1. Ketuhanan yang berkebudayaan, kata ini mula-mula disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, dalam rangka menjelaskan sila kelima, ketuhanan yang berkebudayaan di sidang BPUPKI, dengan kalimat berikut “Prinsip Indonesia Merdeka, dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa… bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ke-Tuhanan yang berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur, ke-Tuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain”, (Naskah Akademik hal.4).

 

Faktualnya Soekarno menjelaskan bagaimana nilai ke-Tuhanan dijalankan secara praktis, tetapi oleh pembentuk UU ditafsirkan berdasar asumsinya sendiri, dan dijadikan konsep serta norma UU, ini telah jauh menyimpang dari konteks asalnya. Ketuhanan yang berkebudayaan dijadikan ciri pokok Pancasila berupa Trisila: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, ketuhanan yang berkebudayaan (Naskah Akademik hal.5 & 83 dan Pasal 7 ayat 2), sangat tidak tepat ketuhanan yang berkebudayaan itu menjadi norma UU, mengingat pidata Soekarno merupakan tawaran kepada forum BPUPKI, Trisila dan Ekasila bukan hal niscaya, sebagaimana pidato Soekarno sebagai berikut: “Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja… socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan.“ Lebih lanjut, “Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang yang satu itu?…Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royon.” (Yudi Latif dalam Media Indonesia, 15/6). Menurut saya Pasal 7 ayat (2) dan (3) niscaya untuk dihapus, demi menjaga konsensus Pancasila 18 Agustus 1945 dan menjaga nama baik Soekarno.

 

  1. Tuhan Yang Maha Esa, konsep ini dapat kita temui di Naskah Akademik hal.4, 14, 71, 92. Kemudian menjadi norma di Pasal 12 ayat (3) huruf a dan huruf d. Bagi saya frasa ini lebih sesuai khususnya bagi ummat muslim, sebagai kalimat tauhid. Pancasila menggunakan frasa Ketuhanan Yang Maha Esa juga dapat dipahami dan diamalkan menurut keyakinan masing-masing ummat beragama di Indonesia.

 

Kesimpulan akhir yang dapat saya sampaikan adalah, sebaiknya pembentuk UU harus cermat dan konsisten terhadap sila pertama dari Pancasila, tidak boleh membuat konsep baru dan tafsir subyektif yang kemudian dijadikan norma UU, karena akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pemerintah RI juga harus bersikap negarawan, jangan sampai RUU HIP menjadi pemecah persatuan dan kesatuan bangsa, karena Pancasila sudah final, tidak boleh diturunkan derajatnya dari dasar negara menjadi UU.

 

 

*Penulis adalah

Pegiat HAM & Advokat PAHAM Jakarta